Mahkamah Konstitusi (MK) Tegaskan Biyaya Tranfortasi Gas LPG 3kg Bukan Obyek Pajak

Riliszone.com
Jakarta – Mahkamah Konstitusi pada putusannya nomor 188/PUU-XXII/2024 menyatakan:
“pengaturan mengenai harga eceran tertinggi (HET) yang diatur dalam peraturan daerah (Kep.Gub) sebagaimana didalilkan para Pemohon menimbulkan multitafsir dalam memahami Pasal 4 ayat (1) dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 telah ternyata tidak memiliki keterkaitan dengan pengaturan objek pajak maupun dasar pengenaan pajak penghasilan dan dasar pengenaan pajak in casu gas LPG 3 kg pengenaan pajak pertambahan nilai bukan berdasarkan biaya transportasi melainkan berdasarkan harga jual.”

Putusan ini menegaskan sama sekali tidak ada keterkaitan baik secara formal maupun substansi antara HET LPG 3kg dengan Penghasilan sebagaimana diatur dipasal 4 ayat (1) UU PPh. Pernyataan tidak terkait ini menegaskan Dirjen Pajak tidak dapat mengkaitkan baik secara formal maupun substansi HET dengan UU PPh. Berbeda dengan Nota Dinas Dirjen Pajak nomor: ND-247/PJ/PJ.03/2021 tanggal 22 Desember 2021 yang mengkaitkan HET LPG 3kg dengan UU PPh. Oleh karena itu Nota Dinas Dirjen Pajak tersebut cukup menyesatkan dan harus segera dicabut.

“Tindakan memajaki yang bukan obyek pajak merupakan tindakan perampokan kepada masyarakat karena dilakukan tanpa berdasar UU”, ujar Cuaca Teger kuasa hukum pemohon Uji materi.

Awalnya persengketaan perpajakan ini disebabkan Dirjen Pajak mengenakan PPh dan PPN terhadap biaya transportasi Gas LPG 3kg dari Agen ke Pangkalan. Biaya transportasi tersebut ditentukan berdasarkan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota masing-masing provinsi di Indonesia. Wajib Pajak kemudian menjelaskan kepada Dirjen Pajak bahwa biaya transportasi tersebut tidak boleh dikenai Pajak karena Legal Standing nya hanya berdasar Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota dan bukan UU.

Tetapi Dirjen Pajak memaksakan pemajakan tersebut dengan menerbitkan Nota Dinas nomor: ND-247/PJ/PJ.03/2021 tanggal 22 Desember 2021.

Berdasar persengketaan itu Wajib Pajak mengajukan Uji Materi Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan PPN ke MK. Pemohon mendalilkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan PPn bertentangan dengan UUD 1945 karena Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan PPN meliputi Penghasilan yang diperoleh berdasarkan SK Gubernur/Bupati/Walikota. Ternyata Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut dengan alasan “Biaya Transportasi yang ditimbulkan berdasarkan SK Gubernur/Bupati/Walikota, bukanlah Obyek Pajak” sehingga uji materi tersebut di TOLAK seluruhnya.Pemerintah dinilai tidak kosisten argumentasi hukumnya.

Pemerintah sebagai Termohon dalam putusan MK tersebut menyatakan bahwa dalam konteks penjualan LPG 3 kg oleh AgenAtau Penyalur, selisih harga yang timbul akibat transaksi di atas Harga Jual Eceran (HJE) yang ditetapkan oleh PT Pertamina diklasifikasikan sebagai penghasilan tambahan yang belum dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22, sehingga atas penghasilan tersebut, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum (tarif umum) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan atau Pajak Penghasilan final dengan tarif 0,5% dalam hal Agen/Penyalur merupakan Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022).

Dengan demikian Pemerintah menyatakan bahwa tidak ada pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diatur tidak dalam undang-undang, adapun yang diatur dalam peraturan dibawah undang-undang adalah hanya terkait dengan tata cara pelaksanaan yang bersifat teknis administratif. Lebih lanjut, pengaturan mengenai HET yang diatur dalam Peraturan Daerah tidak memiliki keterkaitan dengan pengaturan objek pajak maupun dasar pengenaan pajak penghasilan dan PPN.

Menurut Cuaca Teger, pernyataan Pemerintah terbukti tidak konsisten dan mencoba memutarbalikkan fakta. Pernyataan pemerintah saling bertentangan karena menyebut selisih harga yang timbul akibat transaksi di atas Harga Jual Eceran (HJE) yang ditetapkan oleh PT Pertamina diklasifikasikan sebagai penghasilan tambahan yang belum dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan HET yang diatur dalam Peraturan Daerah tidak memiliki keterkaitan dengan pengaturan objek pajak maupun dasar pengenaan pajak penghasilan dan PPN. Bahwa Selisih harga yang timbul akibat transaksi atas HJE yang ditetapkan oleh Pertamina merupakan HET yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah. Dengan demikian Pemerintah pun sebenarnya sudah mengakui bahwa selisih harga yang berdasarkan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota yang merupakan HET tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan pengaturan obyek pajak maupun dasar pengenaan pajak pengasilan dan PPN.

“Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi pelajaran berharga bagi Dirjen Pajak untuk hati-hati memajaki yang bukan Objek Pajak” Ujar Cuaca Teger selaku Kuasa Pemohon Uji Materi.

Kendati Amar Putusannya Menolak Permohonan namun kami sudah memperoleh penegasan dari Mahkamah bahwa biaya Transportasi tersebut bukan Objek Pajak. Dirjen Pajak dapat belajar dari Putusan ini dan tidak sewenang-wenang memajaki yang bukan Objek Pajak”, tutup Cuaca Teger.(Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *